AMANDEMEN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 MENGHILANGKAN PERAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Ada pertanyaan menggelitik yang dlontarkan Ketua Umum PPP yang juga Menteri Agama Drs.H.Surya Darma Ali ( SDA) saat membuka Musyawarah Kerja Wilayah PPP Jawa Barat di bandung beberapa waktu lalu, pertanyaannya adalah :" Apakah kita cukup menjaga umat di Pondok Pesantren atau di masjid, sedangkan pergulatan politik di dalam pembentukan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa, bermasyarakat, berkeluarga termasuk tata kehidupan beragama, kita b iarkan di atur pihak lain? " kata SDA di hadapan peserta Musyawirin DPC - DPW PPP se Jawa Barat.
Pernyataan Menteri Agama yang juga Ketua Umum PPP tersebut sangatlah mendasar karena banyaknya pondok pesantren dan banyaknya masjid yang ada di Indonesia saat ini belum menjadi cermin kebaikan moral masyarakat. Sebagai Partai yang berazas Islam PPP sangat mendukung berdirinya pondok pesantren karena pondok pesantren adalah pilar pendidikan kader dakwah yang akan meneruskan dakwah Islam di masa mendatang. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, masjid dan pondok pesantren banyak berdiri dimana - mana, tetapi kemerosotan moral masyarakat juga makin besar bahkan merosotnya moral rakyat Indonesia tidak sebanding dengan makin banyaknya masjid dan pondok pesantren yang didirikan. Mengapa?
Tampaknya melalui pertanyaan yang disampaikan Menteri Agama saat membuka Muskerwil PPP Jawa barat tersebut, ingin menandaskan bahwa meskipun partisipasi umat Islam dalam pembangunan moral rakyat Indonesia sangatlah besar, namun kelompok perusak moral yang menguasai negara Indonesia jauh lebih besar. Sehingga antara pembangunan moral yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren dengan yang para pihak yang mengejar pembangunan phisik tidak seimbang yang pada akhirnya kemerosotan moral generasi muda makin menjadi -jadi. betapa tida? Entah disengaja atau karena human eror, Kementerian Pendidikan nasional melalui DAK tahun 2011 meloloskan buku untuk perpustakaan SMP yang mengajarkan sex bebas. Termuat pada halaman 95 pada buku "Ada Duka di Wibeng" karya Jazimah Al-Munzi dimuat secara nyata bahwa hubungan sex pra nikah yang dilakukan dengan pacar tidak masalah asal tidak hamil.... dan banyak uraian negatif lain yang saya yakin akan mempengaruhi moral generasi muda. Sangat mengherankan buku seperti itu bisa diloloskan oleh pusat buku nasional. Yang mengejutkan adalah rencana kementerian Kesehetan yang akan membagi kondom ke palajar SMA yang kabarnya rencana pembagian kondom tersebut mencapai 67 juta buah. Pertanyaan kita untuk apa itu? Mengapa para pejabat di negera ini membuat kebijakan yang sangat kontroversial?
Selain hal di atas, kita juga membaca DPR yang membuat undang-undang Keadilan dan kesateraan Gender, yang kalau kita baca dan kita cermati jauh dari moral agama. Dalam RUU - Keadilan dan Kesetaraan Gender yang menurut Meneti Peranan Wanita diharapkan bisa diundangkan tahun 2012, perilaku hidup yang bersandar agama akan dilangkan secara total. Hal ini dapat dibaca dan dicermati dalam ketentuan bab 1 pasal 1 point 1 yang dimaksud Gender adalah nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugas, peran, tanggungjawab, sikap, dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Membaca teks naskah RUU-KKG pasal 1 di atas maka intreprestasi kita apa yang terjadi dimasyarakat selama ini hanya dianggap budaya, padahal perilaku masyarakat tersebut sudah didasarkan atas ketentuan agama, misalnya peran suami dalam keluarga yang otomatis menjadi Kepala keluarga, dengan tanggungjawab mencari nafkah, lho kalau tiba-tiba dalam UU KKG ini diubah suami dibalik menjadi mangtur urusan rumah tanggal sedangkan istri diubah bertanggungjawab mencari rezeki terus bagaimana? demikian dalam hal tata pergaulan masyarakat, bahwa kebiasaan masyarakat bahwa jika ada anak gadis bermain dan bermalam di rumah teman atau jalan-jalan sendirian di waktu malam tentu dipandang tidak baik, karena itu orang tua pasti akan melarang anak gadisnya bermain diluaran sendirian di malam hari, nah kalau kebiasaan baik yang sudah disandarkan atas moral agama ini diubah diganti bahwa pergaulan malam hari bagi anak gadis dibiasakan bagaimana?
Yang menyedihkan lagi adalah usulan amandemen UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang naskah usulan Lembaga Bantuan Hukum APIK. Naskah amandemen tersebut saya muat di bawah ini: Apakah umat Islam yang masih percaya Kitab Suci Al-Qur'an akan mendukung amandemen UU nomor 1 tahun 1974 tersebut, Partai Persatuan pembangunan (PPP ) jelas-jelas menolak, dengan alasan sbb:
(1) .Amandemen UU Nomor 1 /1974 tersebut menghilangkan klausul tentang pengaturan seorang suami menikah lebih dari 1 atau yang dikenal dengan istilah poligami. pengaturan masalah tersebut tegas di atur di dalam al-Qur'an dengan sejumlah syarat, tetapi oleh LBH APIK, polygami ditiadakan dalam hukum postif di Indonesia dengan alasan bahwa polygami merupakan sumber terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Mereka merasa hebat dengan mengecilkan peran Alloh dalam kehidupan berumah tangga. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kekerasan dalam rumah tangga terjadi bukan akibat polygami tetapi yang hampir pasti akibat perselingkuhan dan faktor yang lain.
(2) Dalam amandemen yang diajukan LBH APIK juga mengubah tatanan sosial yang selama ini sudah berurat berakar dan hal itu diatur baik dalam Al-Qur'an maupun dalam UU nomor 1/1974, tentang peran suami dan istri di dalam keluarga. Di dalam UU nomor 1/1974 ditegaskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga yang bertanggungjawab atas nafkah keluarga termasuk istri, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga yang mengatur urusan rumah tangga. Tetapi oleh LBH APIK, peran suami dalam rumah tangga yang sudah berlangsung selama ini dipandang tidak adil dalam perspektif gender. kata mereka bahwa UU-Perkawinan /UU no.1/1974 posisi istri dipandang terlalu rendah jika hanya menjadi ibu rumah tangga, karena itu mereka mengamandemen bahwa istri juga berhak atas posisi sebagai Kepala Rumah tangga dan mencari nafkah sedangkan suami juga bertanggungjawab atas urusan keluarga. Jika seorang suami tetap bersikeras untuk menjadi kepala keluarga dengan menafikan istri menjadi ibu rumah tangga, maka istri berhak untuk menggugat suami ke Pengadilan. kami DPC.PPP Kabupaten Wonogiri memandang bahwa jika usulan amandemen yang digagas LBH APIK ini sampai disetujui DPR kami memandang bahwa ini adalah upaya mengnacuran keluarga secara terang-terangan. Sebelumnya kita melihat bahwa upaya-upaya kaum sekuler mengancurkan kelaurga muslim melalui undang-undang tersebut ternyata berhasil terbukti lahirnya UU Perlindungan anak yang akhirnya memotivasi anak untuk melawan orang tua, kemudian legalisasi anak hasil perzinahan. mau dibawa kemana negara ini
USULAN AMANDEMEN UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
BERIKUT ARGUMENTASI-ARGUMENTASINYA
LBH APIK
NO
|
PASAL DALAM UUP
|
USULAN PERUBAHAN
|
ARGUMENTASI
|
1.
|
PASAL 2
(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
|
PASAL 2
(1) Tidak ada perubahan
(2) Tiap-tiap perkawinan harus dicatat di
unit-unit tertentu sesuai dengan agama yang bersangkutan, di bawah
Departemen Agama.
|
- Merujuk
pada ayat 1, bahwa setiap perkawinan dihubungkan dengan agama masing-masing,
maka tepat apabila pengurusan pencatatan perkawinan di lakukan oleh
unit-unit agama masing-masing di bawah naungan Departemen
Agama.
- Selama ini
hanya kalangan pemeluk agama tertentu saja yang pencatatannya ada di bawah
naungan Departemen Agama.
- Adalah hak
bagi setiap pemeluk agama untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa
diskriminasi berkaitan dengan perkawinan, termasuk dalam urusan pencatatan.
- Legitimasi
hukum: Prinsip non diskriminasi dalam UUD 1945, UU HAM serta UU lain yang
relevan.
|
2.
3.
4.
5.
|
PASAL 3
(2). Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak
yang bersangkutan
PASAL 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UU ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
PASAL 5
Tentang syarat-syarat pengajuan permohonan suami
yang akan melakukan poligami kepada Pengadilan.
PASAL 7
(1). Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
|
Dihapus
Dihapus
Dihapus
PASAL 7
(1). Perkawinan hanya diijinkan jika kedua belah
pihak berumur diatas 18 (delapan belas) tahun.
|
Beberapa alasan mendasar perlu penghapusan
poligami:
- Poligami
merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal
mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas
jenis kelamin lainnya.
- Pengakuan
yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual
mereka atas yang lainnya.
- Ketentuan
ini sangat bertentangan dengan prinsip –prinsip persamaan, anti diskriminasi
serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai instrumen hukum yang ada.
(UUD 1945, UU HAM, UU No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan)
- Realitasnya
banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) lainnya yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan
fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
-
Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat.
-
Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan
hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut. Penerimaan
mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’ ,
yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem
nilai yang diskriminatif.
Syarat-syarat dalam poligami mencerminkan:
- Perkawinan
semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan
mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi
dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau
tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya.
-
Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai “sex provider”
dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’ , yakni
sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada
kepentingan/kebutuhan sang phallus (penis).
- Pasal 7 UUP telah membedakan
usia laki-laki yakni dua tahun lebih tua dari pada usia perempuan yang
dipresyaratkan. Asumsi di balik pembedaan usia ini adalah karena laki-laki
diharapkan menjadi pemimpin dan pencari nafkah keluarga sehingga
dituntut lebih dewasa dari calon istri, pihak yang akan dipimpin. Asumsi ini
sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala
keluarga dan istri ibu rumah tangga.
-
Pembedaan usia ini jelas memuat asumsi yang bias jender. (lihat argumentasi
penghapusan pasal 31 ayat 3).
- Usulan
diatas 18 tahun tanpa pembedaan usia atas dasar jenis kelamin merupakan
implementasi dari berbagai UU yang ada (lihat kerangka hukum yang menjadi
acuan amandemen ini), khususnya UU Perlindungan anak yang menetapkan usia
anak-anak adalah di bawah 18 tahun.
|
6.
|
PASAL 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya
berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang jangka waktu tunggu
tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
|
PASAL 11
(1) Bagi seorang
pria dan wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang jangka
waktu tunggu tersebut ayat (1) adalah selama 3 bulan.
|
- Adanya masa tunggu bagi seorang wanita
setelah putus perkawinan biasanya dikaitkan dengan kemungkinan untuk
melakukan rujuk. Adalah tindakan diskriminatif bila perempuan diikat oleh
masa tunggu atau tidak bisa langsung menikah lagi, sementara di pihak lain
laki-laki tidak diperlakukan sama.
|
7.
|
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga
|
(1) Tetap
(2)
Tetap
(3) Suami istri
memiliki peran dan tanggung jawab yang sama kehidupan berumah
tangga
|
Argumentasi menolak pembakuan peran stereotype
permpuan-laki-laki
- Pasal
31 ayat 3 tidak saja kembali mengukuhkan subordinasi perempuan, tetapi juga
bertentangan dengan berbagai instrumen diatas, yang menegaskan prinsip
persamaan kedudukan antara laki-laki dan prempuan.
-
Pasal ini jelas bertentangan dengan realitas yang ada dimana jumlah perempuan
yang menjadi kepala rumah tangga cukup besar dan meningkat dari tahun ke
tahun. Namun, keberadaan kepala rumah tangga perempuan ini menjadi tidak
diakui.
-
Selain itu, ia kenyataannya memberi dampak yang sangat merugikan bagi
kelompok perempuan.
|
8.
|
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan
rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri
melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan.
|
(1) Suami istri wajib saling
melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
(2) Suami istri wajib mengatur urusan
rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja
kerumah tanggaan, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka
ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan.
|
-
Pembakuan peran ini mendorong proses pemiskinan perempuan: membuat salah satu
pihak (istri)bergantung secara ekonomi terhadap pihak lainnya (suami).
- Dalam
banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, para istri yang menjadi korbannya
tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan
ekonomi.
-
Sementara banyak kasus nafkah di pengadilan, meski diputuskan suami/mantan
suami tetap berkewajiban memberi nafkah, tapi keputusan ini tidak berlaku
efektif dan dikembalikan pada kemauan dari pihak suami/mantan suami.
-
Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja perempuan lebih rendah karena dianggap
sebagai bukan pencari nafkah utama. Para istri yang bekerja sering disamakan
dengan lajang, sehingga tidak mendapat tunjangan keluarga seperti yang
diperoleh oleh rekannya laki-laki.
|
9.
|
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatur
dalam PP
|
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat
mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah
biologisnya melalui ibu biologisnya.
(2) Tetap
(3) Anak yang dilahirkan melalui
program bayi tabung dari suami istri yang sah adalah anak sah.
(4) Bagi bayi tabung yang benihnya
dititipkan pada wanita lain adalah anak syah dari suami istri yang
menitipkannya
|
-
Setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari
apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu.
-
Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua
orang tuanya.
- Dalam
UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 7 (ayat 1) disebutkan : Setiap anak
berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri.
- CEDAW
Pasal 16: Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang
berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan;
- Hak
dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan
pengangkatan anak;
|
No comments:
Post a Comment