Oleh: Kholda Naajiyah
Siapa yang paling bahagia pasca pernikahan
kedua Aa Gym? Anda pasti menduga Aa Gym sendiri dan Alfarini, istri keduanya.
Tapi, sepertinya bukan. Memang, sebagai pengantin baru mustinya mereka
menikmati masa-masa bulan madu penuh kebahagiaan. Namun, “tekanan” opini media
massa atas poligami itu sendiri malah mengguncang keluarga tersebut. Mereka
menjadi bulan-bulanan media, bahkan sampai menyeret perhatian Presiden SBY
segala.
Lain halnya dengan Menteri Pemberdayaan
Perempuan (Meneg PP) Meutia Hatta. Dengan wajah berseri-seri, beliau
menjelaskan akan rencana revisi Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1083 tentang
poligami bagi PNS. Nantinya, tak hanya PNS, aturan poligami akan diperketat dan
diperluas bagi seluruh elemen masyarakat.
Di belakang Menneg PP, para aktivis yang
mengklaim sebagai pejuang hak perempuan berbunga-bunga. Betapa tidak, upaya
amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang juga memuat pasal tentang poligami
seolah menemukan momennya. Amandemen UU Perkawinan yang telah lama digagas para
aktivis yang mengklaim pembela hak perempuan, menemukan cahaya cerah. Minimal
berpeluang besar untuk kembali dilirik, dengan harapan kemudian dibahas dan
dapat digolkan. Dengan demikian, tampaknya para aktivis perempuan inilah yang
mendapat berkah kebahagiaan atas poligami Aa Gym.
Kritisi
Draft Amandemen UUP
Kerangka amandemen UU Perkawinan telah
lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dimotori Feminis Musdah Mulia.
CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu
langsung dianulir.
Namun, para penggagas CLDKHI tak kurang
akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan
perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum
positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang
berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani
bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini
dan menegasikan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan
yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama
tertentu (baca: Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.
Nah, dalam hal pelarangan poligami
sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami
ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini
bisa dilihat dari draft amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 versi Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 3, 4 dan 5
tentang poligami dalam UU Perkawinan.
Sederet argumen dikemukakan. Antara lain,
poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan,
bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan
biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider.
Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun
berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.
Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi “Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” diganti dengan “Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak
berumur di atas 18 tahun”. Alasannya, pembedaan usia
minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini
sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah orang yang
belum berusia 18 tahun.
Bila ditelaah, penetapan angka 18 tahun
ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan
usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye
4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum
wanita semakin sempit.
4T tersebut adalah (1) Tidak terlalu dini (maksudnya
jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); (2) Tidak
terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan
dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup); (3) Tidak terlalu
dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih
mengganggu kesehatan reproduksi); dan (4) Tidak terlalu tua (maksudnya,
jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih risiko tinggi).
Kampanye ini terkait dengan upaya menghentikan
proses regenerasi. Siapa yang dibidik? Tentu saja kaum muslimin. Jumlah kaum
muslimin yang banyak, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi
sekular-kapitalis. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya
menekan proses regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri,
penduduknya justru didorong untuk memiliki anak banyak karena saat ini di sana
dilanda penuaan penduduk dan terancam loss generation.
Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa
iddah bagi wanita bercerai, dikehendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki.
Aneh bin ajaib! Saking pengin samanya 50:50 dengan laki-laki, massa
iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri itu hamil atau
tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil.
Gebyah
uyah (pukul rata) atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi
pembagian peran antara suami dan istri itu, mereka obrak-abrik dengan
menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan istri. Dengan
demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa
diambil-alih oleh istri. Demikian pula sebaliknya, peran istri sebagai pengatur
rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.
Atas dasar ini, istri tidak boleh dilarang
bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah
tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang istri bekerja,
akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT. Dengan demikian, relasi
suami-istri benar-benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi
kehancuran institusi keluarga.
Penghancur
Pernikahan
Draft amandemen UU Perkawinan versi
Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalisme, jelas sangat
berbahaya. Pertama, UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender
(KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti
penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang massa iddah dalam kasus
perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan istri.
Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan
menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik,
mental dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu
seks bebas.
Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga.
Penyamarataan peran antara suami dan istri, berpeluang besar menimbulkan
konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran
pendidikan anak dan kelahiran generasi-generasi berkualitas dari sebuah
keluarga.
Di negeri-negeri Barat, dimana
perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi
keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stkaholders di
dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang
dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki
oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular
Barat.
Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling
strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi
keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih
berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu
senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat mereka.
Maka, yang harus dilakukan adalah menangkal amandemen UU Perkawinan ini dengan
mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dengan
menguatkan institusi pernikahan.(*)
Kholda
Naajiyah, S.Si, peminat masalah wanita, remaja dan anak-anak.
No comments:
Post a Comment