PPP

PPP
Ka'bah, kiblat dimana kita sholat, lambang persatuan umat Islam, di sinilah kita beraqidah yang sama, membangun bangsa dan negara yang sama dengan menampatkan Islam sebagai sumber motivasi dan insfirasi setiap gerakan dan keputusan yang kita ambil
DEWAN PIMPINAN CABANG PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN KABUPATEN WONOGIRI MENGAJAK SELURUH LAPISAN MASYARAKAT MENGUKUHKAN DIRI

Sunday 15 July 2012

Penghancuran Keluarga melalui Amandemen UU Perkawinan



Oleh: Kholda Naajiyah
Siapa yang paling bahagia pasca pernikahan kedua Aa Gym? Anda pasti menduga Aa Gym sendiri dan Alfarini, istri keduanya. Tapi, sepertinya bukan. Memang, sebagai pengantin baru mustinya mereka menikmati masa-masa bulan madu penuh kebahagiaan. Namun, “tekanan” opini media massa atas poligami itu sendiri malah mengguncang keluarga tersebut. Mereka menjadi bulan-bulanan media, bahkan sampai menyeret perhatian Presiden SBY segala.
Lain halnya dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Meutia Hatta. Dengan wajah berseri-seri, beliau menjelaskan akan rencana revisi Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1083 tentang poligami bagi PNS. Nantinya, tak hanya PNS, aturan poligami akan diperketat dan diperluas bagi seluruh elemen masyarakat.
Di belakang Menneg PP, para aktivis yang mengklaim sebagai pejuang hak perempuan berbunga-bunga. Betapa tidak, upaya amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang juga memuat pasal tentang poligami seolah menemukan momennya. Amandemen UU Perkawinan yang telah lama digagas para aktivis yang mengklaim pembela hak perempuan, menemukan cahaya cerah. Minimal berpeluang besar untuk kembali dilirik, dengan harapan kemudian dibahas dan dapat digolkan. Dengan demikian, tampaknya para aktivis perempuan inilah yang mendapat berkah kebahagiaan atas poligami Aa Gym.
Kritisi Draft Amandemen UUP
Kerangka amandemen UU Perkawinan telah lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang  dimotori Feminis Musdah Mulia. CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu langsung dianulir.
Namun, para penggagas CLDKHI tak kurang akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini dan menegasikan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama tertentu (baca: Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.
Nah, dalam hal pelarangan poligami sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari draft amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 versi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 3, 4 dan 5 tentang poligami dalam UU Perkawinan.
Sederet argumen dikemukakan. Antara lain, poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider. Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.
Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi “Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” diganti dengan “Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak berumur di atas 18 tahun”. Alasannya, pembedaan usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun.
Bila ditelaah, penetapan angka 18 tahun ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye 4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum wanita semakin sempit.
4T tersebut adalah (1) Tidak terlalu dini (maksudnya jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); (2) Tidak terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup); (3) Tidak terlalu dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih mengganggu kesehatan  reproduksi); dan (4) Tidak terlalu tua (maksudnya, jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih risiko tinggi).
Kampanye ini terkait dengan upaya menghentikan proses regenerasi. Siapa yang dibidik? Tentu saja kaum muslimin. Jumlah kaum muslimin yang banyak, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi sekular-kapitalis. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya menekan proses regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri, penduduknya justru didorong untuk memiliki anak banyak karena saat ini di sana dilanda penuaan penduduk dan terancam loss generation.
Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa iddah bagi wanita bercerai, dikehendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki. Aneh bin ajaib! Saking pengin samanya 50:50 dengan laki-laki, massa iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri itu hamil atau tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil.
Gebyah uyah (pukul rata) atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi pembagian peran antara suami dan istri itu, mereka obrak-abrik dengan menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan istri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa diambil-alih oleh istri. Demikian pula sebaliknya, peran istri sebagai pengatur rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.
Atas dasar ini, istri tidak boleh dilarang bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang istri bekerja, akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT.  Dengan demikian, relasi suami-istri benar-benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi kehancuran institusi keluarga.
Penghancur Pernikahan
Draft amandemen UU Perkawinan versi  Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalisme, jelas sangat berbahaya. Pertama, UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang massa iddah dalam kasus perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan istri.
Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik, mental dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu seks bebas.
Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga. Penyamarataan peran antara suami dan istri, berpeluang besar menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran pendidikan anak dan kelahiran generasi-generasi berkualitas dari sebuah keluarga.
Di negeri-negeri Barat, dimana perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stkaholders di dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular Barat.
Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat mereka. Maka, yang harus dilakukan adalah menangkal amandemen UU Perkawinan ini dengan mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dengan menguatkan institusi pernikahan.(*)
Kholda Naajiyah, S.Si, peminat masalah wanita, remaja dan anak-anak.

Upaya kelompok sekuler unttuk mengubah UU-Perkawinan


AMANDEMEN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 MENGHILANGKAN PERAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
 
      Ada pertanyaan menggelitik yang dlontarkan Ketua Umum PPP yang juga Menteri Agama Drs.H.Surya Darma Ali ( SDA) saat membuka Musyawarah Kerja Wilayah PPP Jawa Barat di bandung beberapa waktu lalu, pertanyaannya adalah :" Apakah kita cukup menjaga umat di Pondok Pesantren atau di masjid, sedangkan pergulatan politik di dalam pembentukan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa, bermasyarakat, berkeluarga termasuk tata kehidupan beragama, kita b iarkan di atur pihak lain? " kata SDA di hadapan peserta Musyawirin  DPC - DPW PPP se Jawa Barat.
     Pernyataan Menteri Agama yang juga Ketua Umum PPP tersebut sangatlah mendasar karena banyaknya pondok pesantren dan banyaknya masjid yang ada di Indonesia saat ini belum menjadi cermin kebaikan moral masyarakat. Sebagai Partai yang berazas Islam PPP sangat mendukung berdirinya pondok pesantren karena pondok pesantren adalah pilar pendidikan kader dakwah yang akan meneruskan dakwah Islam di masa mendatang. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, masjid dan pondok pesantren banyak berdiri dimana - mana, tetapi kemerosotan moral masyarakat juga makin besar bahkan merosotnya moral rakyat Indonesia tidak sebanding dengan makin banyaknya masjid dan pondok pesantren yang didirikan. Mengapa?
     Tampaknya melalui pertanyaan yang disampaikan Menteri Agama saat membuka Muskerwil PPP Jawa barat tersebut, ingin menandaskan bahwa meskipun partisipasi umat Islam dalam pembangunan moral rakyat Indonesia sangatlah besar, namun kelompok perusak moral yang menguasai negara Indonesia jauh lebih besar. Sehingga antara pembangunan moral yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren dengan yang para pihak yang mengejar pembangunan phisik tidak seimbang yang pada akhirnya kemerosotan moral generasi muda makin menjadi -jadi. betapa tida? Entah disengaja atau karena human eror, Kementerian Pendidikan nasional melalui DAK tahun 2011 meloloskan buku untuk perpustakaan SMP yang mengajarkan sex bebas. Termuat pada halaman 95 pada buku "Ada Duka di Wibeng" karya Jazimah Al-Munzi dimuat secara nyata bahwa hubungan sex pra nikah  yang dilakukan dengan pacar tidak masalah asal tidak hamil.... dan banyak uraian negatif lain yang saya yakin akan mempengaruhi moral generasi muda. Sangat mengherankan buku seperti itu bisa diloloskan oleh pusat buku nasional. Yang mengejutkan adalah rencana kementerian Kesehetan yang akan membagi kondom ke palajar SMA yang kabarnya rencana pembagian kondom tersebut mencapai 67 juta buah. Pertanyaan kita untuk apa itu? Mengapa para pejabat di negera ini membuat kebijakan yang sangat kontroversial?
     Selain hal di atas, kita juga membaca DPR yang membuat undang-undang Keadilan dan kesateraan Gender, yang kalau kita baca dan kita cermati jauh dari moral agama. Dalam RUU - Keadilan dan Kesetaraan Gender yang menurut Meneti Peranan Wanita diharapkan bisa diundangkan tahun 2012, perilaku hidup yang bersandar agama akan dilangkan secara total. Hal ini dapat dibaca dan dicermati dalam ketentuan bab 1 pasal 1 point 1 yang dimaksud Gender adalah nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugas, peran, tanggungjawab, sikap, dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Membaca teks naskah RUU-KKG pasal 1 di atas maka intreprestasi kita apa yang terjadi dimasyarakat selama ini hanya dianggap budaya, padahal perilaku masyarakat tersebut sudah didasarkan atas ketentuan agama, misalnya peran suami dalam keluarga yang otomatis menjadi Kepala keluarga, dengan tanggungjawab mencari nafkah, lho kalau tiba-tiba dalam UU KKG ini diubah suami dibalik menjadi mangtur urusan rumah tanggal sedangkan istri diubah bertanggungjawab mencari rezeki terus bagaimana? demikian dalam hal tata pergaulan masyarakat, bahwa kebiasaan masyarakat bahwa jika ada anak gadis bermain dan bermalam di rumah teman atau jalan-jalan sendirian di waktu malam tentu dipandang tidak baik, karena itu orang tua pasti akan melarang anak gadisnya bermain diluaran sendirian di malam hari, nah kalau kebiasaan baik yang sudah disandarkan atas moral agama ini diubah diganti bahwa pergaulan malam hari bagi anak gadis dibiasakan bagaimana?
     Yang menyedihkan lagi adalah usulan amandemen UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang naskah usulan Lembaga Bantuan Hukum APIK. Naskah amandemen tersebut saya muat di bawah ini: Apakah umat Islam yang masih percaya Kitab Suci Al-Qur'an akan mendukung amandemen UU  nomor 1 tahun 1974 tersebut, Partai Persatuan pembangunan (PPP ) jelas-jelas menolak, dengan alasan sbb:
(1) .Amandemen UU Nomor 1 /1974 tersebut menghilangkan klausul tentang pengaturan     seorang suami menikah lebih dari 1 atau yang dikenal dengan istilah  poligami.  pengaturan masalah tersebut tegas di atur di dalam al-Qur'an dengan sejumlah syarat, tetapi oleh LBH APIK, polygami ditiadakan dalam hukum postif di Indonesia dengan alasan bahwa polygami merupakan sumber terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Mereka merasa hebat dengan mengecilkan peran Alloh dalam kehidupan berumah tangga. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kekerasan dalam rumah tangga terjadi bukan akibat polygami tetapi yang hampir pasti akibat perselingkuhan dan faktor yang lain.
(2) Dalam amandemen yang diajukan LBH APIK juga mengubah tatanan sosial yang selama ini sudah berurat berakar dan hal itu diatur baik dalam Al-Qur'an maupun dalam UU nomor 1/1974, tentang peran suami dan istri di dalam keluarga. Di dalam UU nomor 1/1974 ditegaskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga yang bertanggungjawab atas nafkah keluarga termasuk istri, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga yang mengatur urusan rumah tangga. Tetapi oleh LBH APIK, peran suami dalam rumah tangga yang sudah berlangsung selama ini dipandang tidak adil dalam perspektif gender. kata mereka bahwa UU-Perkawinan /UU no.1/1974 posisi istri dipandang terlalu rendah jika hanya menjadi ibu rumah tangga, karena itu mereka mengamandemen bahwa istri juga berhak atas posisi sebagai Kepala Rumah tangga dan mencari nafkah sedangkan suami juga bertanggungjawab atas urusan keluarga. Jika seorang suami tetap bersikeras untuk menjadi kepala keluarga dengan menafikan istri menjadi ibu rumah tangga, maka istri berhak untuk menggugat suami ke Pengadilan. kami DPC.PPP Kabupaten Wonogiri memandang bahwa jika usulan amandemen yang digagas LBH APIK  ini sampai disetujui DPR  kami memandang bahwa ini adalah upaya mengnacuran keluarga secara terang-terangan. Sebelumnya kita melihat bahwa upaya-upaya kaum sekuler mengancurkan kelaurga muslim melalui undang-undang tersebut ternyata berhasil terbukti lahirnya  UU Perlindungan anak yang akhirnya memotivasi anak untuk melawan orang tua, kemudian legalisasi anak hasil perzinahan. mau dibawa kemana negara ini


USULAN AMANDEMEN UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
BERIKUT ARGUMENTASI-ARGUMENTASINYA

LBH APIK
  
NO
PASAL DALAM UUP
USULAN PERUBAHAN
ARGUMENTASI
1.
PASAL 2

(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PASAL 2

(1) Tidak ada perubahan



 (2) Tiap-tiap perkawinan harus dicatat di unit-unit tertentu sesuai dengan agama yang bersangkutan, di bawah  Departemen Agama.
- Merujuk pada ayat 1, bahwa setiap perkawinan dihubungkan dengan agama masing-masing, maka  tepat apabila pengurusan pencatatan perkawinan di lakukan oleh unit-unit agama masing-masing di bawah naungan  Departemen Agama.  
- Selama ini hanya kalangan pemeluk agama tertentu saja yang pencatatannya ada di bawah naungan Departemen Agama. 
- Adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa diskriminasi berkaitan dengan perkawinan, termasuk dalam urusan pencatatan.
- Legitimasi hukum: Prinsip non diskriminasi dalam UUD 1945, UU HAM serta UU lain yang relevan.
2.








3.



















 4.












5.

PASAL 3

(2). Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan

PASAL 4

(1). Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 

(2). Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.      Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b.     Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.


PASAL 5

Tentang syarat-syarat pengajuan permohonan suami yang akan melakukan poligami  kepada Pengadilan.








PASAL 7

(1). Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.



Dihapus






 Dihapus





















Dihapus













PASAL 7

(1). Perkawinan hanya diijinkan jika kedua belah pihak berumur diatas 18 (delapan belas) tahun.




Beberapa alasan mendasar perlu penghapusan poligami: 
-    Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal  mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya.
-    Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya.
-    Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip –prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai instrumen hukum yang ada. (UUD 1945, UU HAM, UU No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan)
-    Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya  yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
-   Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat.
-  Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut. Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’ , yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif.  
 Syarat-syarat dalam poligami mencerminkan:
- Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut  selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya.
-  Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai “sex provider” dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’ , yakni sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada kepentingan/kebutuhan sang phallus (penis).   
 -  Pasal 7 UUP telah membedakan  usia laki-laki yakni dua tahun lebih tua dari pada usia perempuan yang dipresyaratkan. Asumsi di balik pembedaan usia ini adalah karena laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan pencari nafkah  keluarga sehingga dituntut lebih dewasa dari calon istri, pihak yang akan dipimpin. Asumsi ini sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
-  Pembedaan usia ini jelas memuat asumsi yang bias jender. (lihat argumentasi penghapusan pasal 31 ayat 3).
- Usulan diatas 18 tahun tanpa pembedaan usia atas dasar jenis kelamin merupakan implementasi dari berbagai UU yang ada (lihat kerangka hukum yang menjadi acuan amandemen ini), khususnya UU Perlindungan anak yang menetapkan usia anak-anak adalah di bawah 18 tahun. 

6.








PASAL 11

(1)     Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)      Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
PASAL 11

(1)       Bagi seorang pria dan wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)      Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) adalah selama 3 bulan.
-  Adanya masa tunggu bagi seorang wanita setelah putus perkawinan biasanya dikaitkan dengan kemungkinan untuk melakukan rujuk. Adalah tindakan diskriminatif bila perempuan diikat oleh masa tunggu atau tidak bisa langsung menikah lagi, sementara di pihak lain laki-laki tidak diperlakukan sama. 

7.











Pasal 31

(1)     Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)    Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
    


(1)        Tetap





 (2)        Tetap

 (3) Suami istri memiliki peran dan tanggung jawab yang sama kehidupan berumah tangga  
Argumentasi menolak pembakuan peran stereotype permpuan-laki-laki
-  Pasal 31 ayat 3 tidak saja kembali mengukuhkan subordinasi perempuan, tetapi juga bertentangan dengan berbagai instrumen diatas, yang menegaskan prinsip persamaan kedudukan antara laki-laki dan prempuan.
-   Pasal ini jelas bertentangan dengan realitas yang ada dimana jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, keberadaan kepala rumah tangga perempuan ini menjadi tidak diakui.
-  Selain itu, ia kenyataannya memberi dampak yang sangat merugikan bagi kelompok perempuan.

8.














Pasal 34

(1)     Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2)    Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

(3)    Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.


(1)   Suami istri wajib saling melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2)  Suami istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja kerumah tanggaan, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan.  

-  Pembakuan peran ini mendorong proses pemiskinan perempuan: membuat salah satu pihak (istri)bergantung secara ekonomi terhadap pihak lainnya (suami). 
-  Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, para istri yang menjadi korbannya tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan ekonomi.
-  Sementara banyak kasus nafkah di pengadilan, meski diputuskan suami/mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah, tapi keputusan ini tidak berlaku efektif dan dikembalikan pada kemauan dari pihak suami/mantan suami.
-  Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja perempuan lebih rendah karena dianggap sebagai bukan pencari nafkah utama. Para istri yang bekerja sering disamakan dengan lajang, sehingga tidak mendapat tunjangan keluarga seperti yang diperoleh oleh rekannya laki-laki.

9.
Pasal 43

(1)     Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.






(2) Kedudukan anak tersebut ayat  (1) diatur dalam PP
Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.

(2)   Tetap

(3)   Anak yang dilahirkan melalui program bayi tabung dari suami istri yang sah adalah anak sah.
(4)   Bagi bayi tabung yang benihnya dititipkan pada wanita lain adalah anak syah dari suami istri yang menitipkannya
-  Setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu.
-  Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya.
-  Dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 7 (ayat 1) disebutkan : Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.


-  CEDAW Pasal 16: Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan;
-  Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak;








Membuka Musywil PPP

Membuka Musywil PPP
Ketua Umum PPP Surya darama ali saat membuka musywil PPP Jawa tengah

Ahmad yani, SH, MH tokoh muda PPPyang vokal di senayan

Ahmad yani, SH, MH tokoh muda PPPyang vokal di senayan

Kompak bersama Tim Pememangan Bupati

Kompak bersama Tim Pememangan Bupati
Tampak pada gambar Ketua PPP Wonogiri Anding Sukiman, S.Pd pakai antribut PPP, bersama Yulinadoko Wakil Bupati , Danar Rahmanto (bupati Wonogiri) dan Imawati Usawatun Chasanah, SH.M.Kn (Bendahara PPP) saat menandatangani kontrak politik dengan cabub dan cawabub

ini buktinya

ini buktinya
Ketua PPP Wonogiri yg juga sekretaris Tim Medalimas, menunjukan banrang bukti berupa baju batik yang disita oleh Tim Medali Mas saat Pemilu kada, tapi itu masa lalu yang penting sekarang maju bersama membangun wonogiri dan melupakan masa lalu, hehehehe

Ketua Umum PPP

Ketua Umum PPP
Ketua Umum PPP Surya Darma Ali saat muktamar PPP di bandung

statstik pengunjung

SRIKANDI PPP

SRIKANDI PPP
PPP sebagai partai politik senantiasa memberi peluang kepada seluruh potensi bangsa termasuk para sikandi partai, tampak Marisa Haq dan Emila Countesa, dari kalangan arti yang masuk PPP

Pemilu 2009

Pemilu 2009
Massa PPP saat mengikuti kampanye pada Pemilu Legeslatif 2009, dan siuap memenangkan pada Pemilu legeslatif 2014

Ketua DPC.PPP Kab. Wonogiri bersama istri

Ketua DPC.PPP Kab. Wonogiri bersama istri
Ketua DPC.PPP Kab. Wonogiri Anding Sukiman, S.Pd bersama Istri Dra. Dewi Purnamawati, siap memenangkan PPP Kabupaten Wonogiri Pada Pemilu 2014, berusaha membangun jaringan 3000 takmir masjid yang menyebar di seluruh kabupaten wonogiri

Followers