Pesiden
World Conference on Religions for Peace (WCRP) KH Hasyim Muzadi
menyangkal penilaian peserta sidang PBB di Jenewa Swiss yang menuduh
Indonesia intoleransi beragama. Bahkan mantan Ketua Umum PBNU itu
menyerang balik sejumlah negara di Eropa yang intorelansi beragama
dalam sejumlah kasus.
“Selaku
Pesiden WCRP saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di
Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu pasti, karena laporan dari
dalam negeri Indonesia,“ kata Hasyim Muzadi di Jakarta, Rabu (30/5).
Menurut
Hasyim, tidak ada negara di dunia ini yang lebih toleran dari Indonesia
dalam beragama. “Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara
muslim manapun yang setoleran Indonesia,” jelas sekjen International
Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini.
Hasyim
lantas mempertanyakan ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh
peserta sidang PBB di Jenewa Swiss. “Kalau yang dipakai ukuran adalah
masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran
Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik
barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak
dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia,” katanya.
Kasus
GKI Yasmin Bogor, kata Hasyim, juga juga tidak bisa dijadikan ukuran
Indonesia intoleransi beragama. “Saya berkali- kali ke sana, namun
tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin
menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan daripada
masalahnya selesai. Kalau ukurannya pendirian gereja, faktornya adalah
lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di kupang (batuplat)
pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di
papua. ICIS selalu melakukan mediasi,” katanya.
Selanjutnya,
katanya, jika yang dijadikan ukuran adalah protes terhadap konser Lady
Gaga dan Insyad Manji, kata Hasyim, tidak ada bangsa di dunia ini yang
mau tata nilainya dirusak orang lain. “Bangsa mana yang ingin tata
nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri
untuk kebanggaan intelektualisme kosong? Kalau ukurannya HAM di Papua,
kenapa TNI, Polri, dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM
?,” katanya.
Lebih
lanjut, pengasuh pondok pesantren Al-Hikam Malang dan Depok ini
mengatakan, Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang
sampai sekarang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid.
Indonesia, katanya, juga lebih baik dari Perancis yang masih
mempersoalkan jilbab, dan lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia
yang tak menghormati agama karena di sana ada UU perkawiman sejenis.
“Agama
mana yang memperkenankan perkawinan sejenis? Akhirnya kembali kepada
bangsa Indonesia dan kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas,
membedakan mana HAM yang benar humanisme dan mana yang sekedar
weternisme,” pungkasnya. (suaramerdeka.co
No comments:
Post a Comment